Kemewahan Persepsi


Los Angeles, 11 Desember 2015

dial

“What is behind your eyes holds more power than what it is in front of them” (Gary Zukav)

Pagi ini terasa lebih dingin dari beberapa hari sebelumnya. Matahari enggan menampakkan diri, sepertinya hendak membiarkan awan menyampaikan kesejukkan. Hari ini hari Jumat, hari yang “mewah” bagi saya, seorang muslim Indonesia yang kebetulan sedang menetap di Negeri Paman Sam. Karena setiap hari Jumat, rasanya surga mendekat. Haha, sepertinya berlebihan. Tapi percayalah, rasanya menyenangkan sekali untuk bisa mendengar kumandang adzan, khotbah Jumat, dan berkumpul dengan saudara-saudara seiman. Menarik bagaimana hal yang biasa di suatu tempat, dapat menjadi kemewahan di tempat lain.

Tidak bisa dipungkiri, kondisi Amerika saat ini sedang tidak terlalu nyaman bagi umat muslim. Semenjak ramai mengenai tragedi Paris, isu ekstremisme atas nama agama mulai menguat. Belum reda dengan tragedi tersebut, beberapa pekan kemudian, di San Bernardino, yang sangat dekat lokasinya dengan Los Angeles, terjadi tragedi penembakan yang diindikasi juga terkait dengan seorang muslim. Tekanan semakin kuat dengan pernyataan salah satu kandidat Presiden Amerika yang akan melarang seluruh muslim untuk memasuki Amerika Serikat.

Bagi kami, khususnya istri (yang mengenakan jilbab cukup lebar), adalah hal yang baru untuk hidup di suatu lingkungan sebagai minoritas. Mungkin hanya perasaan kami saja, tapi rasanya tatapan asing selalu menjadi kawan perjalanan. Kami sadar tatapan asing tidak selamanya negatif, namun berkawan dengan perbedaan tetap saja menjadi beban. Belum selesai berdamai dengan persepsi dan asumsi pribadi, isu eksternal menjadi tugas tambahan.

Shalat Jumat kali ini, saya shalat di masjid Umar, masjid yang dekat dengan kampus saya (USC). Jarak masjid ini dengan ruangan tempat saya biasa kuliah seperti jarak dari gerbang belakang ITB ke Masjid Salman, jadi tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Berbeda dengan Jumat-Jumat sebelumnya, saya mengajak serta istri dan anak saya untuk ikut shalat. Di sini, terdapat bagian untuk wanita mengikuti shalat Jumat berjamaah. Perjalanan menuju masjid ditemani dengan angin yang berhembus cukup kencang dan udara yang dingin. Langit mendung rasanya membuat hari ini cenderung lebih syahdu. Tatapan asing? Tentu sudah menjadi kawan perjalanan.

Di dalam masjid, udara sejuk cenderung dingin, kami menunggu khatib naik mimbar. Melalui jendela saya menatap langit yang semakin kelabu. Awan menghitam seolah ingin menumpahkan sesuatu yang terpendam. Angin bertiup kencang memaksa pohon-pohon tinggi bertahan dengan kekuatan batang dan akar nya sendiri. Ah, kondisi di luar terlalu tidak nyaman, beruntung kami berada di dalam masjid yang menjaga kami dari udara dingin dan angin kencang.

Tidak lama, khatib naik ke atas mimbar dan mengucapkan salam keselamatan.

Dua pekan terakhir, setiap khutbah jumat yang saya ikuti, selalu menyinggung tentang bagaimana umat muslim sebaiknya bereaksi terhadap isu-isu eksternal yang saat ini sedang marak. Mudah bagi saya untuk berekspektasi bahwa khutbah jumat kali ini pun tidak akan jauh dari tema tersebut. Khatib baru saja akan memulai khutbah ketika dari jendela saya melihat hujan mulai turun dengan deras disertai angin kencang. Untuk kesekian kalinya, saya bersyukur saya dan keluarga nyaman berada di dalam.

Khutbah mulai berlangsung, dan kali ini, ekspektasi saya tidak sepenuhnya tepat. Sedikit menyinggung isu eksternal yang ada, khatib lebih memilih untuk fokus pada hal lain dalam khutbahnya kali ini. Ia terlihat sudah cukup berumur, mungkin mendekati 70 tahun. Ia menyatakan, bahwa Ia datang ke Amerika sekitar 50 tahun yang lalu, dimana saat itu, Ia pernah mengalami shalat Jumat yang hanya didirikan oleh dua orang saja. Secara tersirat, Ia hendak menyampaikan bahwa kondisi dahulu lebih sulit daripada hari ini, dan sudah seharusnya kita lebih merasa optimis dengan tantangan dan kekuatan yang kita punya hari ini. Jika kita beriman, seharusnya optimis dan keyakinan akan keberhasilan di masa depan adalah nafas yang selalu ada bersama kita.

Ah, rasanya sejuk mendengar kalimat optimisme dari seorang yang sudah menempuh asam garam kehidupan. Kalimat yang sudah sering didengar, tapi menjadi lebih bernyawa karena integritas yang berbicara. Pesan sederhana yang menjelma kemewahan.

“For you students who went here to study, keep in your mind that it’s an honour. You will get what you want, but it depends on your Niat”.

Rasanya sesuatu mengaliri nurani. Sejenak saya teringat akan tujuan awal saya datang ke sini. Memilih Amerika dibanding negara lain yang mungkin lebih nyaman. Memilih Los Angeles ketimbang kota lain yang mungkin lebih bersahabat. Pilihan yang tidak mudah namun memiliki dasar yang menghujam dalam. It’s not only an opportunity, it’s an honour that you were sent here to represent muslim in your community; in this big, powerful Country. Ini bukan hanya kesempatan, ini kemewahan.

Hai, kemana saja saya selama ini?

Di penghujung, saya kembali menatap ke luar. Hujan sudah berhenti. Langit tidak lagi berawan dan mentari bersinar cerah memasuki celah-celah jendela. Angin menyampaikan kehangatan, dengan sentuhan yang lembut dan bersahaja. Benarlah, ini hanya sebuah siklus kehidupan. Gelap dan terang yang berganti, menunggu waktu yang tepat dan memberi pesan tersirat kepada hati yang menanti.

Mungkin selama ini, kami terlalu sibuk meratapi kegelapan. Mungkin diri ini terlalu banyak mengutuk dingin angin yang menusuk. Mungkin, selama ini kami lalai akan tatapan-tatapan asing yang menunggu jawaban dan sapaan; untuk mengetuk hati yang menanti secercah cahaya kehidupan.

Seperti Jumat ini dan juga Jumat-jumat sebelumnya, dimana kami seringkali melewati kemewahan. Kami hanya perlu mengubah cara pandang kami sendiri. See the world through different point of view.

Kemewahan tidak terletak pada kenyataan, tapi pada persepsi dalam pikiran.

*photo taken from http://gratisography.com/

Leave a comment